Sabtu, 21 Juli 2007

Sistem Dinar Emas: Solusi untuk Perbankan Syariah

istem Dinar Emas: Solusi untuk Perbankan Syariah
oleh : Cecep Maskanul Hakim

PEI-Online : 26/5/2004
I. PENDAHULUAN
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan kawasan Asia telah berlanjut memasuki
tahun ke 3. Belum ada tanda-tanda bahwa krisis di kawasan ini akan pulih,
meskipun Indonesia yang dianggap sebagai salah satu daerah penggerak ekonomi
kawasan Asia Tenggara telah dianggap sukses melaksanakan pemilihan umum, tanpa
diwarnai kekerasan. Sebagaimana dimaklumi, krisis ekonomi yang terjadi di
kawasan Asia ini berawal dari krisis nilai tukar mata uang, yaitu semakin
kuatnya mata uang asing -khususnya dollar Amerika- terhadap mata uang domestik.
Akibatnya harga-harga meningkat secara berlipat karena struktur ekonomi
Indonesia didominasi impor, baik bahan baku maupun barang jadi. Di bidang jasa
keuanganpun demikian, dan tingkat suku bunga meroket sehingga pada puncaknya
pernah mencapai 90%. Dunia usaha macet, tingkat pengangguran semakin besar,
inflasi meninggi, pertumbuhan negatif dan seterusnya.


Banyak orang gusar mengapa sebuah perekonomian harus terpuruk hanya karena
nilai mata uang yang berubah. Sehingga ditengah krisis pernah ada usulan untuk
mengikat (peg) rupiah kepada beberapa mata uang asing, yang lazim disebut CBS
(Currency Board System). Namun karena sebelumnya Indonesia telah menandatangani
Letter of Intent dengan IMF, yang mensyaratkan diantaranya bahwa Indonesia
harus menganut sistem (rezim) devisa bebas, maka ide tentang CBS tidak
diterima. Padahal sistem itu sudah dipraktekkan oleh negara lain yang pernah
mengalami krisis, seperti Hongkong.


Orang juga ingat kembali bahwa dalam sejarah ekonomi, baru pada tahun 1990an
inilah krisis mata uang muncul kembali setelah menimpa Amerika pada tahun 1973.
Kali ini negara-negara yang terkena adalah negara-negara selain Amerika dan
Eropa, terutama Asia. Sebelumnya ketika Bretton Wood Agreement masih diikuti,
dimana setiap mata uang harus dirujuk kepada emas, belum pernah terjadi krisis
seperti ini. Adalah Amerika dibawah Nixon yang kemudian membatalkan perjanjian
Bretton Wood tersebut pada tahun 1971 ketika dollar Amerika semakin lemah dan
ekonomi Amerika mengalami krisis. Sejak saat itu dollar Amerika tidak lagi
didasarkan kepada emas. Dengan demikian ekonomi dunia secara praktis telah
dikuasai oleh Amerika, mengingat mata uang rujukan dunia saat ini adalah dollar
Amerika, sedangkan mata uang tersebut sepenuhnya diatur oleh pemerintah Amerika.


Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa selama mata uang dunia masih
disandarkan kepada emas, selama itu pula mata uang relatif stabil dan
kemungkinan krisis sangat kecil. Ancaman krisis hanya ada dari penyakit yang
lain, yaitu bunga. Tidak mengherankan karenanya jika dalam sejarah Islam tidak
pernah terjadi krisis semacam itu. Sebab, sejak zaman Nabi SAW sampai dengan
Dinasti Ustmaniyyah, yang jatuh pada tahun 1923, yang namanya uang adalah uang
emas atau perak. Uang kertas tidak dikenal sama sekali.


Paper ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sekitar mata uang emas
dilihat dari perspektif syariah Islam dan aplikasinya dalam perbankan syariah.
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul adalah bagaimana hukumnya penggunaan emas
sebagai mata uang? Apa dampak penerapan mata uang emas pada perbankan? Jika
mungkin diterapkan bagaimana sistemnya? Mengingat sisi praktisnya, bisakah
digunakan uang kertas yang memiliki nilai tertentu terhadap emas? Apa saja sisi
positif (dan negatif) penerapan mata uang emas bagi dunia perbankan? Bagaimana
penetapan mata uang emas terhadap valuta asing dan kaitannya dengan
transaksi-transaksi luar negeri?



II. UANG EMAS DALAM PANDANGAN SYARIAH


Kata zahab yang berarti emas disebut dalam Quran sebanyak 8 kali. Tetapi hanya
satu yang memberikan ancaman kepada orang yang mengumpulkan dan menyimpan emas,
karena tidak memanfaatkannya di jalan yang benar. Ayat ini merupakan ayat umum
yang memerintahkan bahwa kekayaan yang disimbolkan dalam bentuk emas dan perak
harus diinfakkan sebagiannya di jalan Allah. Bisa jadi kekayaan itu juga
berbentuk uang emas dan perak.


Masalah emas sebagai mata uang dapat kita lihat pada sejarah Nabi SAW. Pada
zaman itu mata uang yang digunakan untuk bertransaksi adalah emas dan perak.
Sebenarnya mata uang ini dibentuk dan dicetak oleh Kekaisaran Romawi. Dan
sepanjang kehidupannya, Nabi tidak merekomendasikan perubahan apapun terhadap
mata uang. Artinya Nabi dan para sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya
membenarkan praktek ini. Dalam ilmu hadist hal ini disebut Hadist Af_al dan
Taqrir, yaitu jenis hadist yang tidak diucapkan, tetapi dilakukan atau tidak
diucapkan. Ini membuat ulama berijtihad bahwa sistem mata uang emas dan perak
adalah sistem mata uang yang benar.


Syeikh Taqyuddin An-Nabhani memberikan beberapa alasan mengapa mata uang yang
benar menurut Islam hanya emas:


1. Ketika Islam melarang praktek penimbunan harta, Islam hanya
mengkhususkan larangan tersebut intik emas dan perak, padahal harta (mal) itu
mencakup semua barang yang bisa dijadikan kekayaan.


2. Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang baku dan
tidak berubah-ubah. Ketika Islam mewajibkan diyat tersebut dengan ukuran
tertentu dalam bentuk emas.


3. Rasulullah SAW telah menetapkan emas dan perak sebagai uang, dan beliau
menjadikan hanya emas dan perak sajalah sebagai standar uang.


4. Ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, maka Allah telah mewajibkan
zakat tersebut untuk emas dan perak, kemudian Allah menentukan nishab zakat
tersebut dengan nishab emas dan perak.


5. Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi
uang, hanya dilakukan dengan emas dan perak. Semua transaksi dalam bentuk
finansial yang dinyatakan dalam Islam hanya dinyatakan dengan emas dan perak.


Alasan-alasan ini bisa dimaklumi jika melihat hadist-hadist Nabi SAW tentang
transaksi yang melibatkan emas, misalnya:


Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW berkata: _Emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, sya?ir dengan sya?ir, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila
berlainan jenisnya boleh kamu jual sekehendakmu asal tunai.


Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda: (Boleh menjual) tamar dengan tamar, gandum
dengan gandum, sya?ir dengan sya?ir, garam dengan garam, sama sebanding, tunai
dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta tambah maka telah berbuat riba
kecuali yang berlainan warnanya. (HR. Muslim).


Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bersabda: (boleh menjual) emas dengan emas
dengan setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang sebanding. (HR.
Ahmad, Muslim Nasa?I).


Dari Abi Bakrah r.a Nabi SAW melarang (menjual) perak dengan perak, emas dengan
emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami membeli perak dengan emas sesuka
kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami pula. (HR. Bukhari-Muslim).


Para ulama memberikan berbagai tafsir terhadap hadist-hadist diatas, namun yang
disepakati diantara mereka adalah bahwa tidak boleh hukumnya tukar-menukar
barang yang sama jenisnya dengan timbangan yang berbeda. Sebagian ulama
mengatakan bahwa disebutkannya emas dan perak diantara barang-barang makanan
dalam hadist tersebut , tidak lain adalah karena emas dan perak adalah uang.
Sebab jarang terjadi orang yang membeli (menukar) perhiasan dari emas dengan
beras atau kurma, kecuali untuk jaminan terhadap suatu transaksi perdagangan.


Dalam kajian fiqih, memang tidak didapati secara khusus hukum yang mengatakan
bahwa mata uang harus (wajib) terbuat dari emas dan perak. Nampaknya bagi para
ulama hal yang semacam itu sudah merupakan asumsi yang tidak perlu dibicarakan
lagi (taken for granted). Justru yang banyak menjadi pembicaraan ulama adalah
praktek di sekitar uang emas dan perak, misalnya nilai tukar antara emas dengan
perak yang sering berubah-ubah, sehingga Nasir Muhammad bin Qalawun, sultan
yang sezaman dengan Ibnu Taimiyyah, pernah melarang masyarakat melakukan jual
beli emas. Demikian pula Imam Ghazali pernah mencela praktek dalam masyarakat
sezamannya yang mencampur emas dengan benda lain sehingga emas yang dipakai
untuk mata uang tidak murni lagi. Akibatnya masyarakat cenderung melepas emas
yang tidak murni ke peredaran dan menyimpan emas yang murni untuk dipakai
sebagai perhiasan. Nampaknya atas dasar ini AlMaqrizi menyimpulkan dalam
kitabnya bahwa uang (emas) yang buruk menggeser uang yang bagus dari
peredaran.


Atas dasar ini kita dapat berkesimpulan, bahwa mata uang yang ada dalam sejarah
Islam adalah emas dan perak. Uang kertas yang ada sekarang bukanlah produk
peradaban Islam, karena itu wajar bila terjadi krisis dimana-mana. Uang kertas
yang ada sekarang adalah legal tender, yaitu janji pemerintah yang menganggap
bahwa itu adalah uang. Jika suatu saat hukum menyatakan ia bukan uang, maka
yang tertinggal hanyalah tumpukan kertas berwarna yang tidak bernilai apa-apa.
Padahal uang adalah alat tukar yang bisa menggantikan posisi barang bila suatu
transaksi berhenti di tengah (uang belum sempat ditukarkan lagi dengan barang
lain). Jika orang sedang memegangnya lalu datang pengumuman bahwa uang kertas
berhenti sebagai alat tukar dan digantikan oleh beras, misalnya, ia hanya
memiliki kertas yang tidak bernilai apa-apa. Selain itu, jika demikian itu
dilakukan maka pemerintah bertanggung jawab menyediakan beras sekian banyak
untuk mengganti uang tersebut.


III. UANG EMAS DALAM PERBANKAN SYARIAH



Permasalahan mata uang dalam perbankan syariah sebenarnya menyangkut tiga hal
yang telah bercampur: Yaitu mata uang fiat (fiat money), masalah bunga dan mata
uang dominan. Dua masalah terakhir sebenarnya dapat terlihat dengan jelas dan
bisa diselesaikan jika masalah pertama terselesaikan.


Perbankan syariah mengasumsikan sebuah mata uang yang kuat dan stabil dalam
melaksanakan bisnisnya. Kuat artinya tidak terpengaruh inflasi, sedangkan
stabil artinya tidak berfluktuasi mengikuti kurs mata uang asing. Hal ini
diperlukan karena:


1. Produk perbankan syariah -yang mengadopsi ajaran Islam- seperti jual
beli (Murabahah, Salam & Istisna?) dan sewa-menyewa (Ijarah, leasing) adalah
produk yang menghasilkan keuntungan dengan rate tetap. Artinya sekali bank
melakukan pembiayaan penjualan barang kepada nasabah, maka harga barang tidak
berubah selama berlakunya akad perjanjian. Jika mata uang melemah terhadap
barang maka secara riil bank sudah merugi. Padahal bank biasanya melakukan jual
beli secara tangguh.


2. Mata uang yang kuat meniadakan, atau setidaknya meminimalisir,
terjadinya inflasi. Dengan demikian salah satu hambatan dalam penentuan harga
secara umum (pricing) dalam sebuah bank akan terselesaikan.


3. Konsep perbankan syariah meniadakan bunga sebagai instrumen. Dengan
mata uang yang kuat, Time Value of Money sebagai paradigma yang menghasilkan
metode Present Value dan Future Value akan hilang. Perhitungan keuntungan akan
jadi lebih mudah dan tidak berbelit-belit.


4. Pertukaran mata uang dengan kurs yang tidak tetap, ditambah instrumen
bunga, melahirkan transaksi spekulatif seperti Swap. Tujuan utama bank adalah
menutup posisi likuiditas, agar pada saat jatuh tempo mata uang tersebut
tersedia dengan nilai tukar yang telah diperjanjikan. Namun sekarang ini tujuan
tersebut sudah bercampur dengan tujuan mencari untung (arbitrage) dengan
perhitungan sukubunga tertentu. Jika nilai tukar stabil, dan bunga tidak
dijadikan dasar perhitungan, maka tujuan bank melakukan tukar menukar uang
menjadi jelas, dan tidak ada kemungkinan untuk melakukan spekulasi.



Mata uang yang bisa memenuhi kriteria semacam ini hanya mungkin bila terbuat
sesuatu yang berharga dan nilainya selalu stabil, atau uang kertas didasari
oleh barang tersebut. Dan itu syarat seperti itu hanya mungkin dipenuhi oleh
emas dan perak.


Kemungkinan kerancuan terdapat dalam transaksi luar negeri. Jika mata uang yang
didasarkan kepada emas ditukarkan dengan mata uang fiat (tidak didasarkan
kepada apapun), baik itu transaksi pertukaran biasa maupun akibat transaksi
ekspor/import, maka apabila terjadi depresiasi pada mata uang fiat tersebut
negara yang mata uangnya didasarkan pada emas akan mengalami kerugian. Hal ini
disebabkan daya beli uang tersebut menurun terhadap barang-barang, baik
domestik maupun impor. Karena itu transaksi antar dua mata uang berbeda akan
jarang dilakukan.


Jika standar yang digunakan terhadap emas berubah-ubah maka terjadi perburuan
mata uang yang nisbahnya lebih kecil terhadap emas. Misalnya pada awal 1999
ditetapkan kurs Rp.100,- = 1 gram dan di Amerika US$ 1 = 1 gram. Ketika
memasuki tahun 2000 kurs rupiah terhadap emas lebih lemah menjadi Rp.120/1 gram
sedangkan di Amerika tetap. Orang akan memburu dollar, karena secara standar
lebih tinggi dari rupiah, dengan asumsi rupiah akan semakin melemah terhadap
emas. Dengan demikian spekulasi terhadap mata uang akan tetap ada meskipun mata
uang sudah disandarkan kepada emas. Demikian pula Kegiatan investasi yang masuk
dari luar negeri akan terganggu, karena investor khawatir akan melemahnya mata
uang domestik terhadap emas. Para importir akan meminta jaminan untuk membayar
pada kurs yang telah ditetapkan yang berarti memindahkan beban perubahan nilai
tukar pada bank. Untuk itu diperlukan standar yang tidak berubah, bukan saja
pada level nasional, tetapi juga pada tingkat internasional.


Demikian pula jika dua standar (bimetallic) yang digunakan, yaitu emas dan
perak. Rasio antara emas dan perak yang berubah akan berpengaruh kepada nilai
mata uang antar negara. Dengan demikian asumsi-asumsi tertentu (lihat footnote
14) tidak bisa diterapkan begitu saja. Tetapi jika diadakan
pembatasan-pembatasan, pemerintah sudah melakukan intervensi pada kehidupan
moneter.



IV. KHATIMAH


Dengan keterbatasan-keterbatasan yang disebutkan di atas, sistem mata uang yang
berbasis emas dan perak jauh lebih baik ketimbang sistem mata uang yang
mengambang (floating) seperti sekarang. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya
intervensi suatu negara kepada negara lain melalui sistem keuangan. Tidak bisa
dipungkiri bahwa sistem keuangan internasional tidak bisa terpisah dengan
sistem politiknya. Dengan demikian negara yang kuat akan terus mendominasi
negara yang lemah melalui sistem mata uangnya. Tidak salah bila orang
melihatnya sebagai penjajahan dalam bentuk baru. Dengan sistem mata uang emas
setiap negara memiliki kekuasaan (sovereignity) atas mata uangnya sendiri,
karena secara asasi siapapun boleh memiliki emas.


Kembalinya sistem mata uang berdasarkan emas sangat mungkin terjadi bila ada
kemauan untuk ke arah itu. Dan itu hanya mungkin bila Islam dipakai sebagai
acuan karena sistem mata uang emas dan perak telah diabadikan oleh pemerintahan
Islam di masa jayanya dan tidak pernah terjadi krisis keuangan seperti yang ada
sekarang.


Wallahu A?lam

Pengamat Keuangan: Dinar-Dirham Lebih Mampu Atasi Krisis Ekonomi

Pengamat keuangan M. Iqbal menyatakan, sistem standar mata uang emas, yaitu Dinar dan Dirham lebih mampu mengatasi krisis ekonomi.

Demikian Iqbal dalam diskusi "Hegemoni Ekonomi Barat dan Solusinya" di Kantor Institute for the Study of Islamic Thougth and Civilization (INSIST), Jakarta.

Alasannya, kedua mata uang ini sepanjang sejarah telah terbukti anti inflasi dan sangat adil dibandingkan dengan dollar. "Sebab dengan sistem fractional reserve terbukti adanya ketidakadilan yang luar biasa. Pencetakan mata uang Dolar kertas (US$ 1 s/d US$ 100) yang hanya memakan ongkos US$ 0. 05 (5sen) harus dihargai dengan nilai yang berlipat ganda oleh negara-negara lain, apalagi Indonesia, " ujarnya.

Menurutnya, bukti kesaktian mata uang dinar- dirham melalui beberapa data ilmiah, di antaranya grafik perkembangan index harga dari tahun 1657 s/d 1817 di kekhalifahan Ustmaniah yang lebih stabil (lebih datar) dibanding dengan trend liner index harga di wilayah Kerajaan Inggris.

"Banyaknya manfaat dari penggunaan dinar dan dirham yang sangat nyata khususnya untuk menyembuhkan sindrom pensiunan. Hal ini sangat berbeda dibandingkan peranan uang fiat, yang secara sempurna terbukti sebagai alat tukar yang tidak adil, karena nilainya yang selalu berubah, baik dalam peranannya sebagai satuan pembukuan maupun sebagai penyimpan nilai kekayaan. "

Iqbal menegaskan, dalam masalah ekonomi, khususnya mata uang, telah terbukti sabda Rasulullah SAW bahwa umat Islam telah ikut Yahudi dan Kristen memasuki lubang biawak (hujra dhabb).

Dengan demikian, tambah dia, sistem kapitalisme dapat dilawan dengan konsep wakaf, infaq dan sedekah yang salah satunya diwujudkan dengan mendirikan pasar dalam konsep Islam

Dollar sudah jatuh, di mana Dinar?

Sekarang, dollar sudah jatuh. Kenapa Dinar-emas belum bangkit, sebagaimana yang diharapkan Mahathir dan banyak orang lainnya?

oleh Dzikrullah W. Pramudya

Samurai veteran kapitalisme sudah mengakui, pedangnya sekarang tumpul, tak bisa lagi mengendalikan dunia. Minggu lalu, bekas direktur Federal Reserve Amerika Alan Greenspan menyatakan bahwa ia memperkiraqan, dollar akan semakin lemah dalam beberapa tahun ke depan, gara-gara defisit yang dialami neraca pembayaran utang Amerika Serikat.

"Saya kira dollar akan terus anjlok sampai ada perubahan dalam neraca pembayaran utang AS," kata Greenspan dalam sebuah konferensi bisnis jarak jauh AS-Israel. Menurutnya, keadaan pasar begitu rumitnya, bahkan susah meramal kondisi dollar dalam jangka pendek.

Dia juga menyebutkan, bangsa-bangsa yang tergabung dalam OPEC sedang mengalihkan cadangan uangnya dari dollar ke euro dan yen. "Adalah tidak bijaksana untuk menahan semua milik Anda dalam satu mata uang," katanya.

Yang tidak diakui secara terus terang oleh Greenspan adalah, fakta bahwa sudah sejak lama tidak bijaksana untuk menyimpan uang Anda dalam mata uang fiat apapun. Fiat money alias uang kertas adalah jenis uang yang dianggap legal dan bernilai oleh suatu hukum. Dollar, Euro, Franc, Mark, Poundsterling, Rupee, Ringgit, Peso, Rupiah, Bath tak ada satupun yang didukung oleh nilai nyata kertasnya sendiri. Fiat money tidak memiliki nilai intrinsik (instrinsic value), sebagai kebalikan dari uang komoditas (commodity money) seperti Dinar-emas, perak, atau perunggu.

Seandainya besok, karena alasan tertentu, pemerintah AS mengumumkan bahwa mereka akan mendevaluasi uang kertas US$ 100 menjadi bernilai US$ 10, maka miliaran orang di dunia tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah dan menerima 'kenyataan' bahwa dalam 24 jam ke depan mereka akan jauh lebih miskin.

Hal seperti itu tidak akan terjadi dengan Dinar-emas. Bahkan kalau seluruh pemerintah di muka bumi menyatakan bahwa emas adalah "barang tidak berharga", orang tidak akan peduli dan tetap memburu emas. Emas tetap emas, orang selalu akan menganggapnya bernilai tinggi sampai kiamat.

Nilai sebuah koin Dinar-emas 22 karat di masa Nabi Muhammad SAW --lebih dari 1400 tahun silam-- masih tetap sama dengan nilainya hari ini. Tidak ada devaluasi, tidak ada inflasi. Bakar dan cairkan sepotong emas, nilainya tetap sama. Cobalah bakar setas penuh dollar AS dan gunakan arangnya untuk beli sepiring nasi. Parahnya lagi, Anda tidak perlu membakar uang kertas untuk membuatnya tidak bernilai. Simpan saja semua uang Anda dalam dollar, rupiah, dan lain-lain; sesudah beberapa tahun nilai uang Anda pasti akan turun kalau tidak anjlok. Nyatanya, nilai dollar terhadap emas terus menurun sejak tahun 1970-an sampai hari ini.

Kebanyakan orang akan mengira bahwa itulah sifat uang, selalu mengalami inflasi. Namun, kelompok masyarakat Amerika sendiri seperti FAME (Foundation of the Advancement of Monetary Education) atau GATA (Gold Anti-Trust Action Committee) berpikiran lain. Beberapa tahun belakangan ini mereka semakin keras bersuara tentang perlunya perombakan sistem moneter yang berbasis fiat money. Mereka mewakili masyarakat AS yang merasa dirugikan, karena nilai tabungan dollarnya yang didapat dengan kerja keras bertahun-tahun ternyata turun setiap tahun. "Karena kesalahfahaman dan tertutupnya sistem fiat dollar, maka ini suatu penipuan besar-besaran, " demikian pernyataan Lawrence Parks, direktur ekskutif FAME.

Kedua organisasi ini bekerja keras mendorong Kongres AS untuk mengubah sistem moneter di negeri itu (yang tentu saja berpengaruh luas kepada dunia internasional). Menurut lembaran fakta resmi FAME, Kongres AS telah secara salah memberikan sebuah kekuasaan istimewa bagi sistem perbankan AS yang sama sekali tidak diatur oleh konstitusi AS. Kekuasaan itu dipakai oleh perbankan AS untuk menciptakan kertas-kertas yang dianggap legal dan mutlak sebagai uang tanpa dasar atau sandaran apa-apa.

Sejak tahun 1946 sampai 2005, dengan modal "hanya" US$ 150 miliar, sistem perbankan AS telah mencetak uang fiat senilai US$ 9,4 triliun. Sekitar US$ 700 miliar dicetak oleh the Federal Reserve, dan sisanya sekitar US$ 8,7 triliun dicetak oleh perusahan-perusahaan swasta, dalam hal ini bank-bank. Parks mempertanyakan, "Kenapa perusahaan-perusahaan swasta harus diberi kekuasaan untuk mencetak uang?"

Kita biarkan saja orang Amerika berkutat dengan masalah fiat money yang membingungkan ini. Artikel ini ingin lebih memfokuskan diri pada jalan keluar dari masalah ini, yaitu commodity money. Dalam hal ini, mata uang Dinar-emas.

Kebanyakan orang di kawasan Asia Tenggara memandang Dinar-emas sebagai isu politik. Pada tahun 2003 Perdana Menteri Malaysia waktu itu Mahathir Mohammad mengangkatnya. Sesungguhnya, Mahathir angkat bicara sesudah selama belasan tahun berbagai kelompok Muslimin di Inggris, Spanyol, dan Afrika Selatan memulainya. Mahathir mengumumkan, bahwa Malaysia akan berinisiatif memperbaiki sistem keuangan internasional, dengan cara menjadikan Dinar-emas sebagai mata uang alternatif.

Dia mengkritik sistem keuangan masa kini karena 'sudah dipelintir oleh negara-negara kaya dan para spekulator'. Dia juga menyatakan bahwa Malaysia akan berusaha keras menggunakan Dinar-emas dalam perdagangannya dengan Iran sebagai langkah awal. Kalau inisiatif itu berhasil, Malaysia akan memperluas kerja sama ini dengan 32 negara lewat pengaturan pembayaran bilateral (BPA).

Sekarang, dollar sudah jatuh. Kenapa Dinar-emas belum bangkit, sebagaimana yang diharapkan Mahathir dan banyak orang lainnya?

Jawabannya datang dari Presiden Dinar Club di Jakarta, Muhaimin Iqbal, yang juga presiden direktur sebuah perusahaan asuransi tertua di negeri ini. Menurut Iqbal, sulit bagi Dinar-emas menjadikan dirinya mata uang alternatif tanpa dukungan perbankan Islam atau syariah. Dia menyatakan, "Satu-satunya lembaga yang bisa memfasilitasi sistem pembayaran modern, transfer, dan lain-lain hanyalah bank syariah."

Iqbal juga meyakinkan, bahwa langkah membuka rekening Dinar-emas akan menguntungkan bank-bank syariah karena akan lebih melindungi masyarakat yang hendak menabung dalam Dinar-emas dari riba. Dengan demikian tabungan mereka tidak akan tercampur dengan proyek pembiayaan yang masih mengandung riba. Bank-bank syariah juga akan mendapatkan bayaran jasa penyimpanan Dinar. Yang sekarang belum ada, menurut Iqbal, hanya niat dan political will dari perbankan syariah dan pemerintah.

Masyarakat sebaiknya mencermati terus jatuhnya dollar yang akan terus anjlok beberapa tahun ke depan. Euro dan yen juga, menurut Iqbal sama rentannya karena sama-sama fiat money. Yang paling bijaksana adalah menyimpan uang dalam Dinar-emas, karena sifatnya yang tahan gempa krisis moneter apapun. Dinar-emas sudah selama beberapa tahun ini diproduksi di Indonesia. Alternatifnya adalah emas murni batangan.

Bagaimanapun, Iqbal mengingatkan, bahkan Dinar-emas juga bukan tujuan akhir dari sistem ekonomi. Orang-orang kaya, khususnya jika mereka Muslim, seharusnya tidak menumpuk kekayannya dalam rekening-rekening bank dalam waktu yang lama. Akan lebih baik jika kekayaan itu diinvestasi ke dalam putaran usaha di sektor nyata sehingga membuka lapangan kerja dan lebih berkah. Alternatifnya adalah kekayaan yang disebarkan lewat infaq dan sadaqah di jalan Allah sebagai bentuk investasi yang lebih tahan krisis dan tidak akan bisa dirampok. Atas nama keadilan, Islam melarang kekayaan hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Inilah jalan keluar terbaik dari sistem keuangan yang serba kacau.

* Kolomnis hidayatullah.com dan kini sedang menulis untuk The Brunei Times

Selasa, 03 Juli 2007

KAMPANYE UNTUK MATA UANG EMAS

Abu Bakr ibn Abi Maryam meriwayatkan bahwa beliau mendengar Rasulullah salallaahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Masanya akan tiba pada umat manusia, ketika tidak ada apapun yang berguna selain dinar dan dirham.” (Masnad Imam Ahmad Ibn Hanbal).

Kepingan Logam Muslim Pertama
Pada awalnya Muslimin menggunakan emas dan perak berdasarkan beratnya dan Dinar-Dirham yang digunakan merupakan tiruan dari bangsa Persia di masa pemerintahan Yezdigird III raja dinasti Sassan, yang dicetak di masa Khalifah ‘Usman, radiallahu anhu. Yang membedakan dengan koin aslinya adalah adanya tulisan Arab yang berlafazkan “Bismillah”. Sejak saat itu tulisan “Bismillah” dan bagian dari Al Qur’an menjadi suatu hal yang lazim ditemukan pada koin yang dicetak oleh Muslimin. Seri yang diterbitkan berikutnya, berdasarkan drachma Khusru II, yang kepingannya kemungkinan mewakili sebagian besar uang yang beredar. Bersamaan dengan kepingan Sasan yang dicetak bangsa Arab dengan jenis Khusru terbaru yang pertama kali diterbitkan dibawah kepemimpinan Khulafa’urrasyidin, dalam perkembangan selanjutnya lebih banyak lagi kepingan versi cetakan nama Khusru diganti dengan nama amir Arab setempat atau terdapat nama Khalifah. Bukti sejarah menunjukkan bahwa kebanyakan kepingan ini bertanggalkan Hijriah. Kepingan tembaga Muslim tertua tidak dibubuhi nama pencetak dan tanggal, tapi ada seri yang kemungkinan telah diterbitkan semasa kekhalifahan ‘Usman atau ‘Ali, radiallahu anhu. Kepingan ini merupakan tiruan tidak sempurna dari bentuk kepingan Romawi timur 12-nummi yang dicetak oleh Heraclius dari Alexandria.

Standar dari koin yang ditentukan oleh Khalif Umar ibn al-Khattab, berat dari 10 Dirham adalah setara dengan 7 Dinar (1 mithqal). Pada tahun 75 Hijriah (695 Masehi) Khalifah Abdalmalik memerintahkan Al-Hajjaj untuk mencetak Dirham untuk pertama kalinya, dan secara resmi beliau menggunakan standar yang ditentukan oleh Khalifah Umar ibn Khattab. Khalif Abdalmalik memerintahkan bahwa pada tiap koin yang dicetak terdapat tulisan: “Allahu ahad, Allahu samad”. Beliau juga memerintahkan penghentian cetakan dengan gambar wujud manusia dan binatang dari koin dan menggantinya dengan huruf-huruf.

Perintah ini diteruskan sepanjang sejarah Islam. Dinar dan Dirham biasanya berbentuk bundar, dan tulisan yang dicetak diatasnya memiliki tata letak yang melingkar. Lazimnya di satu sisi terdapat kalimat “tahlil” dan “tahmid”, yaitu, “La ilaha ill’Allah” dan “Alhamdulillah” sedangkan pada sisi lainnya terdapat nama Amir dan tanggal pencetakkan; dan pada masa masa selanjutnya menjadi suatu kelaziman juga untuk menuliskan shalawat kepada Rasulullah, salallahu alayhi wa salam, dan terkadang, ayat-ayat Qur’an.

Koin emas dan perak menjadi mata uang resmi hingga jatuhnya kekhalifahan. Sejak saat itu, lusinan mata uang dari beberapa negara dicetak di setiap negara era paska kolonialisme dimana negara negara tersebut merupakan pecahan dari Dar al Islam.

Sejarah telah membuktikan berulang kali bahwa uang kertas telah menjadi alat penghancur dan menjadi alat untuk melenyapkan kekayaan uamt Muslim. Perlu diingat bahwa Hukum Syariah Islam tidak pernah mengizinkan penggunaan hutang ataupun surat janji pembayaran menjadi alat tukar yang sah

Apa Itu Dinar Dirham?
Berdasarkan Ketetapan yang diputuskan oleh Sayyidina Umar Ibn Khattab, radiyallahu anhu,

Dinar emas memiliki kadar 22 karat emas (917) dengan berat 4.25 gram.

Dirham perak memiliki kadar perak murni dengan berat 3.0 gram.

Khalifah Umar ibn al-Khattab menentukan standar antar keduanya berdasarkan beratnya masing-masing: “(Berat) 7 dinar harus setara dengan 10 dirham.”

“Wahyu menyatakan mengenai dinar-dirham dan banyak sekali hukum hukum yang terkait dengannya seperti zakat, pernikahan, hudud dan lain sebagainya. Sehingga dalam Wahyu dinar dirham memiliki tingkat realita dan ukuran tertentu sebagai standar pernghitungan (untuk Zakat dan lain sebagainya) dimana sebuah keputusan dapat diukurkan kepadanya dibandingkan dengan mata uang lainnya.

Telah menjadi ijma ulama sejak awal Islam dan pada masa para Sahabat dan Tabi’in bahwa Dirham menurut syari’ah adalah 10 dirham setara dengan 7 mithqal (dinar) emas … Berat dari satu mithqal emas setara dengan 72 butir gandum, maka dirham yang tujuh-per-sepuluh darinya adalah 50 dirham dan dua-per-lima butiran gandum. Semua ukuran ini merupakan hasil ijma.”

Apa saja kegunaan Dinar Dirham?

  • Sebagai simpanan
  • Sebagai pembayar zakat dan mas kawin sebagaimana telah disyaratkan oleh Syari’ah Islam.
  • Digunakan untuk perniagaan sebagai alat tukar yang sah.

Penggunaan Dinar dan Dirham
Emas dan perak merupakan alat tukar paling stabil yang pernah dikenal oleh dunia. Sejak awal sejarah Islam sampai saat ini, nilai dari mata uang Islam yang didasari oleh mata uang bimetal ini secara mengejutkan sangat stabil jika dihubungkan dengan bahan makanan pokok:

Harga seekor ayam pada masa Rasulullah, salla’llahu alaihi wa sallam, adalah satu dirham; saat ini, 1,400 tahun kemudian, harga seekor ayam tetaplah satu dirham.

Selama 1,400 tahun nilai inflasinya adalah nol.

Dapatkah kita melihat hal yang sama terhadap dollar atau mata uang lainnya selama 25 tahun terakhir ini?

Terlihat bahkan untuk jangka panjang, sistem mata uang bi-metal terbukti menjadi mata uang yang paling stabil. Ia tetap bertahan, di samping usaha dari berbagai pemerintahan untuk merubahnya menjadi mata uang simbolis yang diwakilkan oleh nilai nominal yang berbeda dengan berat yang dimilikinya.

Keunggulan
Uang emas tidak akan mengalami inflasi hanya karena dicetak secara terus menerus; ia tidak akan dapat didevaluasi oleh sebuah peraturan pemerintah, dan tidak seperti mata uang nasional, uang emas merupakan sebuah aset yang tidak tergantung kepada janji siapa pun untuk membayar nilai nominalnya.

Portabilitas dan tingkat kerahasiaan dari emas adalah nilai tambah yang penting, akan tetapi lebih daripada itu sebuah fakta yang tidak terelakkan adalah emas merupakan aset nyata dan bukan merupakan hutang.

Semua jenis aset kertas, seperti surat hutang, saham, dan bahkan deposito bank merupakan pernyataan janji hutang yang akan dibayarkan. Nilainya sangat bergantung kepada kepercayaan penanam modal bahwa janji tersebut akan dipenuhi. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh surat hutang sampah dan mata uang Peso Meksiko, janji yang meragukan akan segera kehilangan nilainya. Emas tidaklah seperti ini. Sebentuk emas bebas dari semua bentuk sistem finansial, dan nilainya telah dibuktikan selama 5,000 tahun sejarah manusia.

Menunaikan Zakat
Zakat tidak dapat dibayarkan dengan menggunakan hutang maupun surat janji pembayaran.

Zakat hanya dapat dibayarkan dengan menggunakan barang yang memiliki nilai yang nyata, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘Ayn. Zakat tidak dapat dibayarkan dengan menggunakan janji pembayaran atau hutang, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai Dayn.

Sejak awal zakat dibayar dengan menggunakan Dinar dan Dirham. Sebuah bukti nyata bahwa pada sepanjang masa pemerintahan Ottoman hingga jatuhnya Khalifah, zakat tidak pernah diperkenankan dibayarkan dengan menggunakan uang kertas.

Shaykh Muhammad ‘Illysh (1802-1881), seorang Qadi Maliki yang terkemuka, berkata bahwa jika anda ingin membayar zakat dengan menggunakan uang kertas, maka anda harus membayarnya sesuai dengan nilainya sebagai benda (’Ayn), yang artinya nilai dari kertas itu sendiri. Maka dari itu, nilai nominal dari kertas itu tidak diperkenankan sebagai alat pembayar zakat.

“Jika zakat menjadi wajib, apapun bendanya, akan dihitung/dinisab berdasarkan sifat dan jumlahnya, bukan berdasarkan nilainya, seperti yang terjadi pada perak, emas, biji-bijian, dan buah. Apabila sifat dari benda tersebut tidak memiliki keutamaan dalam hal zakat, maka benda tersebut akan diperlakukan sebagaimana halnya tembaga, besi atau yang sejenisnya.”

Tata cara pembayaran zakat telah dijelaskan dan diatur secara sempurna dalam tata cara hukum Islam. Selama berabad-abad, ketika Syari’ah Islam ditegakan oleh seorang Khalifah atau seorang Amir, zakat selalu dibayarkan dengan menggunakan emas dan perak. Ketika uang kertas pertama kali diperkenalkan, pada abad-abad akhir oleh kekuatan kolonialisme, para ulama tradisional menolak kehadirannya karena sifatnya yang bertentangan dengan Syari’ah Islam.

Menurut pandangan para ulama tersebut, uang kertas hanya bisa dilihat sebagai fulus yang berada dalam kategori mata uang rendah yang hanya dapat digunakan sebagai pecahan mata uang kecil. Sebagai contohnya, tidak diizinkan untuk menggunakan fulus dalam perjanjian qirad . Termasuk ke dalam golongan ulama tersebut, terdapat seorang alim terkemuka keturunan daerah maghribi, Shaykh Muhammad ‘Illyash yang merupakan Shaykh dari para Shaykh fiqih Maliki di Universitas Al Azhar Mesir. Beliau menulis dalam Fatwanya:

‘Saya ditanya mengenai penilaian saya terhadap Segel Sultan (sejenis uang kertas yang digunakan pada zaman Kekhalifahan Osmanli) yang beredar sebagai pengganti dinar dan dirham. Apakah Zakat wajib atasnya, sebagaimana yang terjadi pada emas, perak dan barang dagangan, atau tidak?’

Saya menjawab:

“Segenap puji bagi Allah dan rahmat dan kedamaian bagi Junjungan kam, Sayidduna Muhammad, Rasulullah.”

“Tidak ada zakat yang dibayarkan atasnya, sebagaimana zakat diwajibkan atas hewan ternak, beberapa jenis biji-bijian dan buah-buahan, emas, perak, nilai dari pendapatan dagang dan barang simpanan. Barang yang disebutkan di atas (Segel Sultan) tidak termasuk ke dalam kategori tersebut.”

“Engkau akan melihat amal dari penjelasan mengenai hal ini pada koin tembaga atau fulus yang dicetak dan diberi segel Sultan yang ada dalam peredaran, di mana tidak ada zakat yang dibayarkan atasnya, karena tidak termasuk ke dalam kategori yang wajib untuk dizakatkan. Sebagaimana tercantum dalam kitab Mudawwana: ‘Barangsiapa yang memiliki koin receh (fulus) senilai 200 dirham dalam satu tahun, tidak diwajibkan zakat atasnya, kecuali ia merupakan barang dagangan. Maka, si pemilik harus melihat nilai koin tersebut sebgaimana nilai barang dagangan.’”

“Dalam kitab ‘Al-Tiraz’, disebutkan Abu Hanifa dan Asy-Syafi’i menyatakan dengan tegas pembayaran zakat atas koin receh, karena keduanya mempertimbangkan pentingnya membayar zakat atas nilainya, di sebutkan juga bahwa terdapat dua perbedaan dalam pendapat Asy Syafi’i, ia menyatakan bahwa sikap mazhab yang menyatakan tidak mewajibkan zakat atas koin receh, tidak ada perbedaan pula bahwa koin receh dilihat dari nilainya, bukan dari berat dan jumlahnya. Jika zakat menjadi wajib, apapun bendanya, akan dihitung/dinisab berdasarkan sifat dan jumlahnya, bukan berdasarkan nilainya, seperti yang terjadi pada perak, emas, biji-bijian, dan buah. Apabila sifat dari benda tersebut tidak memiliki keutamaan dalam hal zakat, maka benda tersebut akan diperlakukan sebagaimana halnya tembaga, besi atau yang sejenisnya.”

“Dan Allah, segenap puji dan sembah bagiNya, Maha Bijaksana. Semoga Allah memberkahi dan memberikan kedamaian bagi junjungan kita, Nabi Muhammad beserta seluruh keluarganya.”

(Diterjemahkan dari kitab ‘Al-fath Al’Ali Al-Maliki’, hal. 164-165)

Fatwa ini menyatakan bahwa uang kertas adalah fulus karena uang kertas hanya mewakili nilai nominal uang dan tidak memiliki nilai dagang. Maka dari itu, zakat tidak dapat dibayarkan dengan menggunakan uang kertas yang tidak nilainya sebagai kertas adalah nol. Saat penggunaan Dinar dan Dirham sebagai alat pembayaran zakat ditegakan kembali, maka jutaan koin emas dan perak akan kembali hadir di kegiatan perniagaan sehari-hari.